Kenalin, Namaku Fariz

Kenalin, Namaku Fariz - Assalamu'alaikum sahabat Teguh Adang di manapun berada. Selamat datang di blog pribadi ini. Oke, artikel yang sedang sahabat baca saat ini berjudul Kenalin, Namaku Fariz, artikel ini ditulis dengan penuh perasaan, dan semoga sahabat semua dapat memahami informasi yang disajikan di dalamnya. Oh iya, kata kunci untuk memahami isi artikel ini adalah Jalan Tengah, Rian Elmanuhi, selamat membaca.
Judul : Kenalin, Namaku Fariz
link : Kenalin, Namaku Fariz


Kenalin, Namaku Fariz


Halo, hai… pada kesempatan ini aku ingin memperkenalkan diriku pada kalian, di beberapa bab sebelumnya aku begitu banyak bercerita tentang Rian serta menceritakan serangkaian aktifitasku. Kalian tentunya bertanya-tanya mengapa aku begitu fasih mengobrol dengan kakeknya Sari menggunakan bahasa Arab, terlebih ketika kami membahas beberapa kitab fiqih klasik koleksi Tuan Guru Busyairi (Kakeknya Sary). Bukan hanya kalian, Sary pun ku buat kaget—bahkan hampir tidak percaya—tatkala aku dengan lancar menjelaskan makna yang terkandung di dalam kitab Riyadhus sholihin (salah satu kitab favorit Tuan Guru Busyairi). Bagiamana tidak, sebelumnya Sary hanya mengenalku sebagai Fariz si anak sosial, tidak lebih.
Perkenalkan namaku Ahmad Maulana Fariz, tahun ini usiaku menginjak 25 tahun. Aku berasal dari kota Bandung, sebuah kota yang begitu asri. Semasa kecil aku sudah tinggal di salah Pondok Pesantren di Bandung. Aku tidak begitu mengetahui asal-usulku, aku kehilangan ingatan masa kecilku oleh suatu sebab yang aku sendiri tidak mengetahuinya, semakin aku mencoba mengingatnya, kepalaku semakin sakit. Oleh karena itu aku meminta bantuan dr. Indah untuk membantu membalikkan ingatanku, setidaknya satu kali sebulan aku menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat praktiknya. Sebelumnya sudah aku ceritakan bukan, bahwa dr. Indah adalah seorang dokter kejiwaan sekaligus merupakan rekan relawan sosialku.
Saat ini aku menetap di Semarang untuk bersekolah, aku mengambil program doktoral ilmu sosial di salah satu Universitas Negeri ternama di kota ini, saat ini aku berada di tahun keduaku di Semarang. Sedangkan untuk program master, aku mengambil program master Socialpreneurship, aku berhasil lulus dengan predikat mumtaz di salah satu universitas tertua di Jazirah arab.
Sebenarnya aku sekolah ke jazirah arab beberapa tahun lalu murni karena iseng doang, aku ga bener-bener ngincer tanah arab. Bagiku sekolah ya sekolah, kemanapun dan berapa lamapun ga masalah, yang penting sekolah. Jadi ceritanya gini, setelah Yudisium di salah satu kampus negeri di Bandung, aku iseng memasukkan semua berkasku ke web kampus di arab waktu itu, iseng doang, upload berkas-submit form registration-confirm­ trus enter­, trus ngeyoutube deh, ga pernah tak cek lagi web kampusnya. Namun sebulan kemudian, ponselku berbunyi dan tertera nomor dari negara asing di layar handphoneku. Dari percakapan tersebut, intinya aku diminta untuk menyiapkan waktu dan tempat dengan koneksi internet yang stabil karena akan dilakukan ­live interview. Dua bulan setelah interview, aku dinyatakan lulus, udah gitu doang. Semua biaya, akomodasi, apartemen, uang saku, uang jajan, dan riset, sepenuhnya ditanggung oleh kampus tersebut.
ketika berinteraksi dengan teman-teman aku sengaja merahasiakan semua ini karena tuntutan profesi dan tentu saja naluri alamiah anak sosial. Aku tidak mau lawan bicaraku memberikan perlakuan berbeda hanya karena mengetahui tingkat pendidikanku, ini merupakan prinsip tidak bisa ditawar lagi. Namun, untuk kasus Tuan Guru Busyairi—mau tidak mau—aku harus menceritakan semuanya, karena walau bagaimanapun juga, aku tidak boleh berbohong dihadapan ulama, begitulah salah satu pesan syeikh pembimbing sekolahku di jazirah arab dahulu, “selain alim ulama, jika memungkinkan membumi lah”. Membumi yang dimaksudkan adalah menyembunyikan identitas keilmuan, karena pada dasarnya—kami, anak sosial—harus membina hubungan personal dengan masyarakat sekitar.
Tentang Rian, saat ini aku belum bisa berkomentar banyak, namun satu hal yang pasti, dia akan bersemangat kalau sudah membahas masalah agama. Sejauh yang aku tau—selama aku berdiskusi dengannya—arah pemikirannya lebih condong ke arah moderat/jalan tengah/tidak kiri ataupun kanan. Terbukti ketika membahas masalah Palestina, reaksinya datar saja, begitupula ketika membahas Israel reaksinya datar saja. Yah, walaupun demikian bukan berarti dia cuek tanpa memberikan respon berupa solusi atas permasalahan tersebut. Menurut Rian “Urusan Palestina itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengangkat senjata dan mengirim bantuan jihadis-jihadis ke sana. Palestina bukan hanya sekedar wilayah konflik yang mengatasnamakan agama, karena bukan hanya islam yang ada di sana. Dibutuhkan kekuatan Politik dari negara nonblock di negara tersebut, Indonesia membangun kantor diplomat di sana merupakan awal dari kemerdekaan Palestina.” Begitulah tanggapan Rian datar ketika membahas Palestina.
Hmmm…apa ya…. Kalau ditanya kenapa harus Membahas Rian aku juga bingung, aku penasaran sekaligus terus ingin bertukar pikiran dengannya, anyway sampai aku tau alasan mengapa harus membahas Rian, aku akan terus menulis kisah ini.
*versi utuh dari bab ini bisa dinikmati dalam media cetak (berupa buku), insyaAllah tahun depan terbit.

Demikianlah artikel yang berjudul Kenalin, Namaku Fariz

Terima kasih telah membaca artikel Kenalin, Namaku Fariz, semoga dapat memberi manfaat untuk sahabat semua. Akhir kata, sampai jumpa di postingan artikel lainnya. Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Sahabat telah membaca artikel berjudul Kenalin, Namaku Fariz dengan alamat link https://teguhadang.blogspot.com/2016/03/kenalin-namaku-fariz.html
Advertisement